Sabtu, 30 Juni 2012

MENANTI REGINA PULANG


MENANTI REGINA PULANG

BAB I:
Jangan Pulang, Aretha!
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk mencegahnya? Ami mengeluh putus asa. Diawasinya kesibukan yang tengah berlangsung di hadapannya dengan rupa bingung. Tak tahu dengan kalimat macam apa lagi yang harus ia keluarkan sebagai bujukan.
Kelelahan akibat menyusuri setiap jengkal lantai marmer di swalayan dan seperti hendak merontokkan segenap sendi-sendinya belum pula lagi hilang. Grasa-grusu di dapur di bawah sana pun pasti masih sementara dijalankan secara diam-diam. Itu semua bagaian dari rencana yang mereka rancang penuh semangat empat lima sejak seminggu yang lalu. Sebuah pesta surprais yang diyakini pasti akan berjalan semarak. Tapi kalau yang bersangkutan sendiri tiba-tiba hendak melarikan diri....
"Apa sih yang membuatmu terburu-buru mau pulang seperti dikejar setan begini?" tanyanya kemudian dengan pikiran kacau.
Sekejap Aretha tertegun mendengarnya. Tangannya yang semula bergerak lincah mengemasi barang-barang terhenti mendadak di udara. Hanya sekejap. Lantas senyumnya terukir sumbang. Tanpa kata dilanjutkannya kegiatannya.
Ami mendekatinya.
"Etha," katanya. "Kamu dengar tidak, sih?"
"Dengar."
"Kalau begitu tolong jawab!"
Aretha membalik. Mata sayunya menatap lurus.
"Apa yang harus kukatakan, Ami? Kamu pasti sudah tahu jawabanku. Sama seperti tujuanmu bila kamu pulang, begitu pula tujuanku sekarang!"
Ami tercenung dengan sebaris kalimat yang belum sempat tercetus. Dipandanginya gadis itu yang berusaha aktif di dalam riak tenang.
Aretha membasahi bibirnya yang mendadak terasa kering. "Aku kangen-kangen pada orang-orang rumah!"
Kalimat terakhir Aretha melantun dalam getar yang samar. Tak teraba oleh siapa pun. Juga oleh seorang Ami.
"Tapi, apa tidak bisa ditunda?" Seakan melihat peluang, gadis itu bertanya gegas. "Pulanglah dalam waktu dua-tiga hari lagi. Jangan sekarang."
"Hei, sejak kapan kamu berubah jadi nenek rewel begitu, Ami Manis?" Tawa lirih Aretha menguar. "Aku mau pulang sekarang. Bukan lusa atau kemarin. Tidak merugikan siapa-siapa, bukan?"
Justru sangat merugikan!
Ami berteriak gemas dalam hati. Dibayangkannya lembar-lembar rupiah yang melayang deras di kasir swlayan Baji Pamai tadi. Semua itu untuk Aretha. Untuk pesta ulangtahun yang ingin dirayakan semeriah mungkin.
Oh, apa kata Andi Andromedha Rivai Mangunsidi alias Medha kalau kejutan yang ingin dipersembahkannya buat gadis tersayang ini harus gagal total hanya karena ketidakbecusannya mencegah agar Aretha jangan pulang?!
"Nah, semua siap sekarang!"
Oh, tidak. Jangan!
Ami tiba-tiba dilanda kepanikan. Tanpa 'ba-bi-bu' ia berbalik dan bergegas turun menyusuri tangga. Ia nyaris tersuruk jatuh, tapi bayangan kekecewaan Medha berikut pelototon mata kawan-kawan yang bakal diterimanya membuatnya seakan punya tenaga ekstra. Secapat yang ia bisa tubuhnya melesat ke dapur.
***

BAB II
Gawat!
"Gawat! Gawat! Gawat!" cecarnya seperti orang latah. Kasak-kusuk di dapur seketika terbungkam. Empat pasang mata disertai dengan kernyitan jelas pada masing-masing kening menyambut kehadirannya.
"Apa yang terbakar, Ami?" Sashi bertanya penuh ekspresi.
"Bukan kebakaran! Lebih gawat dari itu."
"Apa?"
"Aretha tiba-tiba ingin pulang. Entah dari mana didapatnya ilham sinting itu!"
"Hah?!" Keempat pasang mata itu kini membeliak bundar. Tebaran buku-buku resep yang tadi mendapat perhatian penuh mendadak terlupakan.
"Kamu serius?" Nuri paling pertama buka suara. Dan untuk itu ia langsung mendapat penghargaan berupa delikan bengis dari Ami.
"Kamu masih kejam menuduhku main-main? Lihat, aku sudah hampir mati kejang saking panik!"
"Aduh! Jadi bagaimana?"
Seruan itu berloncatan nyaris dalam saat yang sama. Ami mendengus. Pertanyaan bingung itu sekarang menghinggapi mereka semua!
Sesaat waktu berlalu hening. Masing-masing seolah menunggu yang lain untuk mencetuskan sesuatu. Hm, bagus juga! Ami mendengus tanpa maksud apa-apa. Bagaimana ya, kalau Aretha tahu bahwa keinginan sederhananya untuk pulang ternyata telah menghadirkan kecemasan pada semua penghuni pondokan?! Dan yang jauh lebih penting lagi, bagaimana kira-kira tanggapan Medha nanti?
Uh, memikirkan yang terakhir itu saja sudah membuat Ami serasa ingin mati di tempat. Ia tahu siapa Medha. Cowok kalem, tak banyak omong, yang notabene adalah pamannya. Adik bungsu ibunya yang anak sulung pada sebuah keluarga besar beranggotakan dua belas orang anak. Dan ia hafal betul seluk-beluk tabiat serta lekuk-liku pembawaan si Big Boss itu.
Medha jarang minta tolong pada siapa pun.
Bahkan terkesan ogah-ogahan bergaul dengan orang yang tak punya urusan dengannya.
Bukan sombong, tapi ia memang punya kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang yang tak dikenalnya dengan baik.
Barangkali pula ia termasuk ke dalam golongan pribadi yang tak bisa mengungkapkan perasaan secara frontal dan terbuka. Karena itu nyaris merupakan berita ajaib manakala ia menampilkan Aretha dan mengumumkan pada semua orang yang mau tahu bahwa gadis lembut bermata sayu itu merupakan calon pendampingnya kelak.
Ami pun hampir tak yakin dengan apa yang didengarnya. Untunglah tidak selamanya. Di saat selanjutnya, ia pun berucap syukur dan turut bertepuk tangan tanda gembira atas pengumuman itu.
Itu kejadian setengah tahun silam. Segalanya berjalan manis di awalnya. Setidaknya begitulah menurut laporan pandangan mata yang sempat direkam Ami. Tapi sejak tiga bulan yang lalu mulai ada yang tak beres. Entah setan dari mana yang iseng bercokol dan mengaduk-aduk otak Aretha, tak seorang pun yang diperkenankan untuk tahu. Tidak Medha. Tidak pula Ami. Yang jelas, gadis itu tiba-tiba saja terlihat berusaha merentang jarak. Tanpa secuil penjelasan ia tiba-tiba sering kedapatan tengah mencari jalan untuk memutuskan segala apa yang telah terjalin. Menghindari pertemuan, membatalkan janji, melakukan segalanya dengan sendiri, dan puncaknya: berbuat seolah tak ada makhluk bernama Medha yang meskipun sudah pusing tujuh keliling namun masih tetap setia setiap saat di sisinya. Menantikan sepotong penjelasan atas ketidakmengertiannya. Melipatgandakan kesabaran, tetap dilimpahinya perhatian dan kasih yang tulus buat gadisnya, meski untuk semua itu kerap hampir dibikin sinting karena Aretha dengan keji membalasnya dengan sikap sedingin Alaska!
***








BAB III
Ada Apa dengan Aretha?
Lantas lahirlah ide itu. Ulangtahun Aretha seolah mendatangkan secercah sinar harap untuk mengembalikan warna-warni pelangi yang mulai lamur. Ami dihubungi. Lalu merembet pula kepada kawan-kawan sepondokan yang lain. Tentu saja zonder-without Aretha. Kepada mereka, Medha menuturkan semua rencananya. Ia ingin mengembalikan senyum yang sempat hilang dari wajah lembut gadisnya.
Medha sadar ini bulanlah jalan yang pasti menjanjikan keberhasilan. Tapi setidaknya ia ingin berusaha. Barangkali dengan sebuah kejutan kecil disertai sedikit gila-gilaan semua akan membaik. Artinya, Aretha mau buka mulut menceritakan tentang setan iseng yang membuatnya berubah. Lalu setelah itu, apalagi kalau bukan membimbingnya mencari jalan keluar dari kemelut yang merundungnya.
Tapi ternyata semuanya tidaklah segampang mengatup kelopak mata. Rencana yang didukung sepenuhnya oleh Ami cs. terancam bubar sebelum terealisasikan. Dan penyebabnya justru datangnya dari Aretha sendiri. Siapa sangka gadis itu tiba-tiba hendak pulang tepat pada saat ulangtahunnya? Padahal semuanya telah dipersiapkan dengan rinci. Malah dengan semangat dan partisipasi yang full banget. Nah, kalau semuanya tiba-tiba jadi mau berantakan seperti begini, bukankah itu amat-sangat tidak lucu?
Ami menggigit bibir bawahnya gelisah. Sudah direka-rekanya apa yang bakal menimpanya nanti. Sepanjang yang diingatnya, Medha tak pernah dijumpainya dalam keadaan marah. Justru karena itu ia jadi gentar sendiri. Bagaimana kira-kira kalau nanti Medha datang dan mendapati apa yang telah diinstruksikannya tidak ada yang jalan sama sekali?
O, tidak. Barangkali masih ada yang bisa jalan. Misalnya, kue yang sedang dalam persiapan untuk dibikin ini. Tapi apa gunanya kalau Aretha tidak hadir?! Bisa-bisa itu malah akan semakin membuat Medha murka. Bagaimana ya kira-kira kalau ia murka? Aduh, entah sudah berapa kali pertanyaan itu hilir-mudik di kepalanya. Agaknya ia ngeri memikirkan itu. Dan aku memang ngeri, pikir Ami getir.
"Sudah kamu bujuk dia?" Suara Sashi menghentikan lamunannya.
Ami mengangguk. "Tapi sampai kering tenggorokanku dia tetap bersikeras mau pulang!"
"Kalau begitu biar aku yang membujuk!"
Fai bangkit. Bermaksud mendatangi Aretha. Tapi belum lagi kakinya menyentuh anak tangga, suara gedebag-gedebug dari atas mematikan seluruh geraknya.
Aretha muncul. Lengkap dengan tas-jalan yang sudah gendut menggelembung. Matanya yang sayu menatap kawan-kawannya satu per satu.
"Aku mau pulang," lapornya dalam nada biasa. Terlalu biasa untuk situasi seperti sekarang, sungut Ami dalam hati.
"Ami," Aretha mendatanginya. "Aku titip ini." Diangsurkannya dua buah buku tebal. "Tolong berikan pada Medha."
"Kenapa bukan kamu saja yang memberikan?" Fai menyela.
"Iya," susul Nuri begitu melihat ada kesempatan untuk melancarkan persuasi. "Barangkali nanti malam juga dia akan ke sini."
Aretha tersenyum dipaksakan. "Tidak bisa. Aku harus pulang sekarang!"
"Tidak bisa ditunda?"
"Tidak!"
"Penting sekali, Etha?"
Dijawab dengan anggukan.
"Sebegitu pentingnya sampai kamu tak bisa menyempatkan diri untuk pamit pada Medha?"
Pertanyaan itu membuat Aretha terdiam. Ia menunduk dengan gerak kikuk. Lantas kembali ditatapnya Ami.
"Aku kan cuma pulang kampung," kilahnya berusaha tenang. "Tidak jauh. Dan tidak akan lama."
"Tapi jangan seka...."
"Aku harus segera pergi," Aretha memotong tergesa. Sungguh tak menyenangi kepungan bujukan yang bernada mendesak seperti itu. Dan tanpa mau dengar apa-apa lagi, ia segera terbang ke depan.
"Astaga! Ia seperti Cinderella yang harus segera pulang sebelum pukul dua belas malam."
"Ia bahkan tidak bertanya untuk apa tumpukan resep ini."
"Aretha yang aneh! Apa yang harus kita katakan pada Medha?"
***
BAB IV
Acara Ultah buat Aretha
Aretha bukannya tidak maklum akan maksud kawan-kawannya yang mencegahnya agar jangan pulang sekarang. Ia sadar apa yang tengah direncanakan dengan sembunyi-sembunyi untuknya. Samar-samar ia pernah mendengar bisik-bisik tentang itu. Tidak cukup jelas sebenarnya, tapi sudah cukup membuatnya mengerti bahwa semua itu ada hubungannya dengan ulangtahunnya.
Ulangtahun!
Dalam kesendiriannya di bis yang melaju kencang, Aretha menggigil mengeja kata itu. Seluruh dirinya seakan dibungkus hawa dingin yang aneh. Membuatnya seolah terlempar ke benua tak berpenghuni dimana hanya keasingan dan keterpencilan diri yang menemani.
Tapi mungkinkah itu?
Sementara sesosok tubuh kering yang senantiasa dijumpainya dalam keadaan mengenaskan tak mungkin dibiarkannya pergi. Lebih tak mungkin bila ia yang harus lari menghindar. Yah, tak mungkin. Karena dari sosok ringkih itulah ia pernah mengecap kemanjaan dan kasih sayang yang ligat. Karena sosok ringkih itu dipanggil dengan sebutan: Mama.
Sumpah mati!
Aretha tak pernah membayangkan akan menjumpai hari-hari seungu ini dalam rentang kehidupannya. Tersirat dalam mimpi pun tidak. Hari-hari sebelum peristiwa laknat itu dijalaninya dengan riang. Ada Papa yang hangat, Mama yang lembut, Bang Togi yang kocak, Kak Illa yang penuh pengertian; semua itu adalah karunia baginya.
Tapi rasanya Lucifer ada di mana-mana. Si Jahat itu berkesempatan mengintip dunianya yang semarak dan merasa syirik karenanya. Lantas ditiupkannya prahara itu. Seorang bocah berikut Tante Rossi yang parasnya secantik setan tiba-tiba saja sudah hadir dalam kehidupan Papa. Dan layar kehidupan yang penuh warna-warni pelangi pun mendadak harus berganti dengan kabut sehitam jelaga.
Aretha masih mengingat semuanya dengan jelas.
Demikian jelas, seolah baru terjadi sejam yang lalu.
Padahal kejadiannya sudah setengah tahun yang lalu.
Saat itu ia tiba-tiba dihinggapi keisengan untuk menyusul Papa ke kantor.

Sebenarnya itu tidak perlu. Toh nanti sore juga Papa pasti akan pulang. Namun keinginan untuk sesekali memberikan kejutan pada Papa demikian kuat menggoda. Dan selain itu ia memang membawa sebuah cerita seru. Tentang kehadiran seorang Medha pada ruang yang paling istimewa di hatinya!
Aretha tahu, ia sudah agak lancang. Mengusik kesibukan Papa. Itu tak pernah terjadi dalam lingkungan mereka. Bahkan Mama sendiri pun tak pernah melakukannya. Dan untuk kelancangannya itu ia memperoleh ganjaran yang jauh lebih kejam.
Di ruang kerja Papa dijumpainya seorang anak kecil tengah asyik bermain-main. Matanya bening. Pipinya montok menggemaskan. Aretha sudah hendak menjawilnya ketika celoteh bocah itu tiba-tiba memukaunya di tempat. Anak itu memanggil Papa dengan sebutan yang persis sama dengan kebiasaannya!
Ia tertegun!
Lantas matanya mencari wajah Papa. Laki-laki yang dikaguminya itu pun menatapnya, tapi dengan ekspresi yang lain sama sekali. Penuh keterkejutan. Dan terbongkarlah semuanya!
Aretha merasa dunianya runtuh seketika. Tak ada lagi yang tersisa. Kekagumannya pada Papa mendadak lenyap disapu kebencian. Pengkhianatan Papa yang tersembunyi demikian lama itu tak pernah bisa ia maafkan. Hatinya tertutup sudah. Terlebih ketika sebuah kenyataan pahit lagi-lagi tersaji di hadapannya....
***
BAB V
The Other Woman
Mama memang tak pernah memperlihatkn tangis ketika kejadian itu. Wanita tersayang itu cuma diam pasrah. Tetapi siapa nyana di dalam hatinya ternyata mengalir darah dan nanah yang berasal dari luka yang teramat parah?! Dan semuanya mencapai puncak ketika pada suatu malam seisi rumah dikejutkan oleh jeritan Mbok Isah. Pembantu setia itu kedapatan tengah berdiri gemetar di ambang pintu kamar. Penuh ketakutan. Juga kengerian.
Jiwa Mama memang sempat tertolong malam itu. Darah yang keluar dari urat nadi pergelangan tangannya yang teriris sempat dihentikan sebelum membuat Mama meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Tapi toh pada akhirnya sama saja. Toh kenyataan yang tersuguh kemudian tetap membimbing Aretha untuk tiba pada akhir yang giris. Tekanan batin yang dahsyat rupanya memperlihatkan tuahnya: Keseimbangan jiwa Mama terganggu!
Setiap hari Mama melewati waktu dengan pembawaan yang berubah-ubah. Kadang diam tak mau bicara. Kadang menangis, meracau tak henti, atau mengeluh tentang dirinya yang tidak dicintai lagi oleh sesiapa. Oh, setiap kali mendengar Mama mengeluh begitu, hati Aretha yang sudah terluka bagai dijatuhi air cuka bertetes-tetes. Pedih. Membuatnya gagal memendam tangis. Dan itu diiringi tekad untuk melakukan apa saja yang diinginkan Mama. Termasuk di antaranya agar jangan pernah alpa menjenguk beliau setiap ada kesempatan.
Seperti sekarang!
Kecuali urusan kuliah, tak ada lagi yang bisa menghalangi kepulangannya. Tidak bujukan kawan-kawannya. Tidak pula seorang Medha! Sebegitu pentingnya sampai kamu tak bisa menyempatkan diri untuk pamit pada Medha?
Suara itu mengalun jauh. Meneteskan kekosongan yang dalam di rongga hati Aretha. Dipejamkannya mata. Dibayangkannya raut wajah terkasih itu. Dan hatinya lagi-lagi menangis.
Med, maafkan aku! batinnya menjerit sakit. Aku tahu kamu tersiksa dengan sikapku yang tiba-tiba tak dapat kamu pahami sejak tiga bulan ini. Tapi barangkali kamu tidak tahu betapa aku pun tersiksa melihat kegigihanmu. Untuk apa semua itu, Med? Apa gunanya kepenuhmengertianmu selama ini bila semua itu hanya akan berubah seratus delapan puluh derajat begitu tahu dari keluarga macam apa sebenarnya aku berasal!
Sama seperti apa yang dilakukan Bang Erwin, pacar Kak Illa.
Dan itu hanya karena sepotong kalimat singkat namun teramat melukai:
"Mamamu gila...."
Ya, Tuhan!
Aretha betul-betul naik darah mendengar penghinaan itu. Nyaris didatanginya Bang Erwin-keparat-busuk itu. Tapi Bang Togi, dengan kebijakan yang entah dari mana datangnya, berhasil membujuknya. Memberinya kekuatan dengan kalimat-kalimat menyejukkan. Dan Aretha terpesona. Si Sulung yang dulu kocak-seenaknya dan kerap membuatnya menangis kini tampak begitu dewasa. Ucapan-ucapannya tenang. Laksana belaian angin pegunungan di pagi hari. Membangunkan kekuatan sekaligus kesadaran yang meskipun terasa pahit namun toh harus dijalaninya.
Ya, Mama memang gila!
Itu kenyataan.
Tapi ia tak akan pernah rela bila keadaan Mama dijadikan senjata untuk menoreh luka di hatinya. Terlebih lagi ia tak ingin Mama dianggap sebagai penghancur kebahagian. Karena itu diputuskannya untuk melepas Medha. Menjauh dari cowok terkasih itu. Sebelum ia tahu segalanya. Sebelum ia mengucapkan selamat tinggal, barangkali ada baiknya bila Aretha mendahului. Setidaknya itu tidak akan seberapa menyakitkan.
Egois?
Barangkali.
Tapi bukankah ada saat dimana manusia tak punya pilihan kecuali memenangkan keakuannya?
***

BAB VI
Maafkan Aku, Medha!
Telepon berdering. Suaranya membelah kelengangan sore. Aretha berjingkat menjangkau gagang horn. "Halo," sapanya melantun lunak.
"Aretha?" Suara di seberang terdengar bergetar. "Ini Papa. Sudah terima bingkisan dari Papa? Selamat ulangtahun ya, Sayang? Kapan Etha bisa temui Papa? Papa kangen sekali. Papa ingin ngobrol banyak. Nanti malam tunggu Papa, ya? Papa akan datang. Merayakan ulang tahun Etha. Halo... Etha...? Halo... halo...."
Masih didengarnya suara lamat Papa. Jemari Aretha tremor dengan hebat. Juga bibirnya. Diletakkannya gagang horn dengan dada sesak. Suara yang dalam dan berwibawa itu....
Wahai...
Alangkah lama tak menyentuh gendang telinganya. Semestinya ada kerinduan yang lahir sebagai pengiring. Namun nyatanya tidak. Tak ada setitik pun, kecuali secuil rasa aneh yang membuat dadanya berdegup sakit.
Kemarin memang ada bingkisan dari laki-laki itu — ah, sekarang ia bahkan sudah mulah risih menyebut Papa! Entah apa isinya. Aretha belum sempat membukanya. Tepatnya, menolak untuk membukanya. Ia tidak mau. Luka yang ditimbulkan laki-laki itu belum mengering. Bencinya pun belum kikis.
"Sampai kapan kamu akan memelihara dendam itu, Adikku?" Bang Togi menatapnya iba.
Aretha diam tak bersuara.
Ya, sampai kapan?
Ia tidak tahu.
Yang dipahaminya hanyalah bahwa tak mudah melupakan peristiwa menyakitkan itu. Juga tak mudah menghapus jejak-jejak kelam yang ditinggalkannya.
Aretha beranjak mendekati jendela. Rembang sore mulai menghiasi kaki langit dengan warna semarak. Jingga yang membercak seronok diseling nuansa kelabu di sana-sini menjanjikan malam yang cerah dan hangat. Ia mengeluh pedih.
Tepat setahun yang lalu; juga di tempat yang sama persis, ia pun mengamati langit. Menjaga agar mendung yang sering datang tak terduga jangan sampai mendekat. Ia tak ingin pesta ulangtahunnya yang cuma datang sekali setahun itu amburadul gara-gara hujan. Oh, betapa ia selalu menantikan pesta itu. Pesta dimana ia menjelma bagai ratu sejagat. Dan semuanya masih lengkap. Ada Papa, ada Mama....
Ah, persetan!
Air bening mengambang di permukaan matanya. Disekanya dengan sengit. Ia tak mau mengingat semua itu lagi. Tak ada gunanya. Masa manis itu toh tak akan mungkin lagi kembali. Sudah lama luluh. Dilibas kepahitan demi kepahitan.
Oh, mengapa waktu berjalan demikian lambat? batinnya mengeluh.
Rasanya ingin dilompatinya saja hari yang sekarang ini.
Toh tak ada yang perlu dirayakan lagi.
Segalanya sudah selesai.
***

BAB VII
Jangan Ungkit Kenangan Itu

Sekonyong-konyong punggung Aretha menegak.
Ucapan laki-laki tadi — maksudnya Papa! — kembali berdengung di telinganya.
Nanti malam tunggu Papa, ya?
Papa akan datang.
Merayakan ulangtahun Etha....
Ya, Tuhan!
Ia tak ingin membiarkan laki-laki itu menemuinya.
Ia belum siap.
Paling tidak, bukan untuk saat dimana hatinya masih kusut-masai seperti sekarang. Tergopoh-gopoh dikemasinya pakaiannya. Demikian sibuknya hingga tak menyadari kehadiran Bang Togi di ambang pintu.
"Mau ke mana, Etha?"
Aretha menoleh. "Pulang?" suaranya basah dalam getar yang kentara.
"Kenapa secepat ini?"
"Ada kuis besok."
"Bukan karena Papa akan datang?"
Plep!
Pandangan Aretha mengabur sudah.
Dihindarinya tatapan mengawasi Bang Togi dengan pura-pura sibuk merapikan tas-jalannya.
Bang Togi mendekatinya.
Merengkuh bahunya dari belakang.
"Kenapa harus berbohong, Adikku?"
Aretha menelan ludahnya dengan susah payah.
Kerongkongannya tiba-tiba mengering. Dan membuatnya tersedak tiap hendak melontarkan kata.
"Tak ada yang akan menghukummu bila kamu berucap jujur," bisik kakak laki-lakinya pelan. "Bang Togi mengerti perasaanmu. Memang tak mudah melupakan sebuah luka. Tapi tidak inginkah kamu memberikan kesempatan pada Papa untuk mengurangi sedikit rasa bersalahnya? Apa yang dilakukannya pada keluarga kita memang sulit dimaafkan. Tapi bagaimanapun, ia masih tetap menyimpan cinta untuk kita. Anak-anaknya. Perasaannya akan kian terluka bila kita tega menampiknya. Sesungguhnya Papa patut dikasihani, Etha!"
"Bang Togi ingin membujukku agar aku tetap tinggal menemuinya?"
"Seandainya Bang Togi punya hak untuk itu, Bang Togi akan keluarkan semua perbendaharaan bujukan yang Bang Togi punyai. Tapi tidak. Kamu bukan Aretha-kecil seperi dulu lagi. Kamu pasti sudah tahu mana yang terbaik."
"Tapi perbuatannya menyebabkan kita semua menderita," sentak Aretha tajam. Suaranya bergelombang. "Mama gila, dan semua orang lantas melontarkan pandangan mencemooh. Bang Erwin...." Isak kecilnya pecah. Ia ingat Medha, dan seketika merasa menjadi orang paling malang di plenat biru ini.
***
BAB VIII
Berdamai dengan Cinta
"Ssst... jangan sebut nama itu lagi. Kak Illa sudah tak apa-apa sekarang. Kamu bisa lihat. Ia mulai sibuk seperti dulu lagi, bukan?"
Aretha mengangguk. Dan diakuinya kalau memang kakak perempuannya itu seteguh karang.
Lara tak mempam mengguratkan luka lebih dalam di hatinya.
Tidak seperti Mama.
Tapi ia sadar. Hati setiap orang berbeda.
Diakuinya pula, ia mungkin tak akan setabah Kak Illa jika dirundung nestapa yang sama.
Sekarang, bagaimana dengan aku?
Aretha membatin dengan bibir terkatup rapat.
Aku tak yakin akan bisa sekuat Kak Illa bila Medha pun terbirit-birit lari setelah mendengar kisah tentang Mama. Untuk itu aku sudah berusaha menghindarinya. Kendati pun sulit! Cowok terkasih itu ternyata bermental baja. Dan itu menyiksaku. Kesabarannya mengundang haru, dan... membuatku semakin menyayanginya. Ya, ini memang sebuah penipuan diri. Tapi adakah jalan lain kecuali itu? Tanpa penghargaan dari orang-orang sekeliling, hidup hanyalah sekadar mengarung waktu. Tak ada warna, tak ada gairah. Semua jadi serba samar. Menggamangkan. Dan cinta tinggal menjadi sepenggal kata kosong tak bernilai.
"Etha...." Bang Togi mengusiknya. "Kamu gemetar. Ada apa?"
Aretha menengadah. "Pernahkah Bang Togi merasa malu punya ibu seperti Mama?"
Bang Togi menggeleng dengan rupa tak mengerti.
"Aku juga tidak," desah Aretha. "Tapi nyatanya tetap saja ada yang tak bisa menerima. Bang Erwin, misalnya."
"Etha!" Rahang Bang Togi mengeras. Mendadak ia merasakan ada beban yang tengah disandang Aretha. "Kamu pun mengalami seperti apa yang dialami Kak Illa?" tanyanya dengan suara tertekan.
"Belum. Tapi barangkali akan."
"Oh! Itukah sebabnya kamu tak pernah bisa memaafkan Papa?"
"Tidak bisa tidak. Pada akhirnya smuanya akan bermuara ke sana."
"Siapa dia?"
"Namanya Medha. Andi Andromedha Rivai Mangunsidi."
"Dia tahu Mama... gila?!"
"Saat untuk itu pasti akan tiba."
"Jadi belum? O, Etha." Bang Togi mencium ubun-ubunnya. "Kenapa jadi sepenakut ini?"
"Aku tidak takut," Aretha membantah. "Aku cuma tak ingin sikap Bang Erwin pada Kak Illa dulu berulang pula menimpaku."
"Sama saja, Adikku," kilah Bang Togi sabar. "Janganlah terlalu mengasihani diri. Jujurlah padanya. Ceritakan semuanya tentang keluarga kita. Jangan takut bila ia kemudian meninggalkanmu. Jangan sedih. Jangan menangis kalau kamu tak ingin rugi sendiri. Bila ia benar-benar seperti Erwin, tak ada gunanya mencucurkan airmata buatnya, kan?"
Aretha tak bersuara.
Diresapinya kalimat Bang Togi. Dan ia merasa menemukan kebenaran di sana. Ya, mengapa baru terpikir hal itu sekarang? Digerakkannya tubuhnya. Beranjak menjangkau tasnya.
"Kamu tetap ingin pulang?" Bang Togi mengawasinya.
"Ya," jawabnya tenang.
"Tetap tidak ingin menemui Papa?"
"Bang Togi, please. Beri aku waktu. Bang Togi tak ingin aku menemuinya dengan benci dan dendam yang masih berkarat, bukan?"
Bang Togi tersenyum. "Tapi janji pasti akan kembali lagi ke sini."
"Segera setelah segalanya beres."
"Sampaikan salamku padanya. Hm, siapa namanya tadi?"
"Medha."
"Ya, Medha. Nama yang bagus. Kuharap hatinya lebih bagus lagi!"
Aretha mengulas senyum kecil. Hatinya damai. Tak ada lagi keraguan kini. Ia akan pulang. Ingin diketahuinya rencana apa sesungguhnya yang tengah dirancang sembunyi-sembunyi untuknya. Oh, sudah dibayangkannya wajah-wajah melongo heran yang akan menyambut kepulangannya nanti.
Lalu yang lebih penting lagi, ingin ditemuinya Medha. Ingin diceritakannya pada cowok itu tentang keberadaan Mama. Dan apa pun nanti reaksi Medha akan diterimanya dengan segenap kebesaran jiwa.
Ya, ia kini akan mulai belajar berdamai dengan apa yang telah menjadi garis kehidupannya.
TAMAT

By Yhoppy Apriliansyah Hidayat (28-11-2010, 09:45 am)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar