Sabtu, 30 Juni 2012

NYANYIAN GERIMIS


Nyanyian Gerimis

CHAPTER 1:
Nyanyian Gerimis

Runa....
Hari ini gerimis turun lagi. Dan seperti biasanya, aku hanya bisa menikmatinya sendirian. Tanpamu! Padahal betapa inginnya aku bersamamu. Bercanda dalam gerimis, tanpa peduli berpasang-pasang mata menatap kita dengan wajah tersenyum. Tanpa peduli baju basah karenanya. Tanpa peduli, bila esok harinya kita demam dan menyibukkan Mama dengan kemanjaan kita. Aku rindu semuanya itu, Runa. Apakah kau juga?
Kadang kala, perasaan seperti itu menyergapku. Keinginan bertemu denganmu selalu saja menyesakkan dada. Aku selalu berpikir, betapa senangnya jika kau ada bersamaku. Mengisi hari-hari kita berdua. Sepertu dulu!
Runa sayang....
Kenangan bersamamu adalah saat terindah dalam hidupku. Saat di mana aku bisa menikmati semua perasaanku. Tanpa harus pura-pura menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya! Tertawa bahagia, sedih, terluka, menangis atau kecewa sekalipun, selalu kita lewati dan rasakan berdua. Percayakah kau Run, jika kukatakan, bersamamu tak pernah sekalipun, aku merasa sepi dan sendiri. Aku bisa melewati semua cobaan karena kau. Karena kau selalu ada di sampingku. Tapi kini...?
Andai saja bisa kuberikan hidup dan kekuatanku, agar kau sembuh dan tersenyum lagi. Agar bisa kulihat, kau tidak hanya terbaring di ranjang dan menahan sakit setiap hari. Agar bisa kita wujudkan impian kita, mengelilingi dunia. Kau ingat?
Runa sayang....
Gunther pernah bilang; puncak gunung yang tertutup oleh salju tebal, akan terlihat sangat indah, jika kita melihatnya dari atas bukit. Tapi bagiku, semua itu sama saja, Run. Seindah apa pun tempat yang kudatangi, jika kau tak ada... bagiku, tak ada gunanya, Run.
Aku masih ingat, dulu kau pernah bilang: Sisil, aku ingin sekali, suatu saat bisa pergi ke Jerman. Melihat dari dekat Gerbang Kemenangan dan Puri Nymphenburg. Ah, aku baru ingat, itu kata-katamu sebelum kau sakit, kan? Semuanya masih sangat jelas bermain-main di kepalaku. Membuatku selalu saja menangis jika mengingatnya.
Runa....
Gerimis belum juga berhenti. Semakin mengingatkanku tentangmu. Juga tatapan cemas Mama melihat kita berdua basah kuyup dengan bibir membeku kedinginan. Tatapan jengkel Mama melihat kita hanya tertawa menanggapi kecemasannya. Atau juga tatapan Papa, yang selalu tersenyum membela kita, setiap kali kita berbuat kenakalan.
Runa....
Bagaimana semuanya di sana? Sehat-sehat, kan? Bagaimana denganmu? Apa kata dokter?
Setiap kali menyebut kata dokter, aku selalu takut membayangkan, bagaimana kau berjuang melawan penyakitmu. Juga Mama. Mama yang sekarang ini pasti sedang cemas menunggu hasil operasi kemoterapimu. Dan aku?
Maafkan aku, Run! Aku seharusnya berada di sisi Mama. Memberikan dia kekuatan, berjuang bersamamu. Tetapi ketakutanku itu selalu saja menyerangku. Hingga kemudian, di sinilah aku sekarang. Mewujudkan impianmu, Run. Melihat apa pun, yang saat ini ingin sekali kau lihat.


CHAPTER 2:
Aku Sayang Kamu, Runa!

"Sisil...."
Aku mendongak, mencari asal suara. Dari tingkat dua, kulihat Gisela melambaikan tangannya sambil tersenyum.
"Tunggu aku di bawah, ya?"
Aku tersenyum mengiyakan.
Runa, apakah suratku sudah sampai?
"Melamun lagi, ya?" Gisela tiba-tiba berujar pelan sambil menepuk bahuku lembut. "Sampai tak tahu kuperhatikan sejak tadi. Ingat dia, Sil?"
Aku hanya menjawab dengan senyum. Berjalan beberapa langkah dari sana, menghampiri kolam ikan, dan duduk di tepinya.
"Kapan kau pulang?"
"Lusa," jawabku tanpa berpaling. "Kenapa?"
"Mereka tahu kau akan datang?"
Aku menggeleng.
"Dia bagaimana?"
Aku mengedikkan bahu.
"Sil?"
"Entahlah! Aku hanya berharap, dia tak pernah tahu aku datang. Tak ingim membuatnya bingung dengan keputusanku."
"Apa kau tak takut, jika pulang nanti, Dave telah memenuhi permintaanmu, menemani Runa selamanya?"
Aku tersenyum tipis. Menatap gadis blasteran Indonesia-Jerman itu dengan tatapan pilu.
"Itu mungkin lebih baik kan, Gis?"
"Aku tahu. Tapi pikirkan juga perasaannya, Sil. Yang dia cintai itu kamu. Jangan membuatnya bingung seperti itu."
Aku menggeleng lemah. Mengambil sweater yang kuletakkan di pergelangan kursi. Memandang gadis itu sesaat, sebelum akhirnya masuk ke dalam, menyalakan perapian. Gisela berjalan mengikutiku.
"Aku tak bisa mengubah apa yang sudah kuputuskan, Gis. Jauh-jauh hari aku tahu, ini semua akan menyakiti kami. Tapi...?" gelengku sedih.
"Apa ini kau lakukan karena balas jasa?" tanya Gisela, hati-hati.
Aku berpaling cepat. Menatap gadis itu tak suka.
"Sil?"
"Apa kau pikir aku seperti itu?"
Gisela memandangku sedih.
"Sil... maafkan aku, ya? Aku hanya tak suka, kau terus mengalah."
Maaf? Aku tersenyum tipis. Andai saja kau mengerti, Gis. Andai saja kau berada di posisiku, mungkin kau akan melakukan hal yang sama. Apalagi jika kau melihat, orang yang kau cintai begitu menderita.
Mama juga pernah melakukan hal itu sebelum aku pergi. Wanita cantik yang lembut, sosok keibuan yang sangat kusayangi, yang telah mengasuhku sejak kecil dan sudah menganggapku anak kandungnya sendiri itu, berdiri di depanku dengan mata basah. Tanpa berbicara apa pun. Hanya menatapku dengan pandangan memohon. Membuatku tak bisa mengatakan apa-apa lagi, selain tersenyum dan berusaha mengerti keinginan Mama, menyerahkan orang yang kucintai pada satu-satunya saudaraku.
"Sil?"
"Sudahlah," desisku pilu. Aku tak apa-apa. Tak perlu cemas memikirkanku."

"Barang-barangnya sudah kalian ngepak semua, kan?"
Aku dan Gisela mengangguk bersamaan.
"Tak ada yang terlupa?"
Aku tersenyum. Merangkul Mom, ibu Gisela dan Gunther, dengan penuh kasih.
"Tinggal sedikit lagi kok, Mom. Aku hanya takut lupa membawanya."
"Tenang saja. Gunther sedang mengambilnya." Gisela tersenyum. "Ah, itu dia."
Gunther masuk dengan wajah berpeluh keringat.
"Maaf Sil, mobilku tiba-tiba mogok di tengah jalan," kata cowok itu menjelaskan, sambil menyerahkan album foto di tangannya. "Jam berapa penerbanganmu?"
"Dua jam lagi," jawabku, sambil melirik seiko di pergelangan tanganku. "Terima kasih ya, Gun."
"Jangan begitu ah," serunya tak suka. "Oh ya, Sil. Aku titip adikku yang cerewet ini, ya?" Gunther tersenyum melirik Gisela, sambil berusaha mengelak dari cubitan adiknya. Mom dari depan, memperhatikan kami sambil tersenyum.
"Sudah, ayo cepat berangkat. Bukan pesawat yang menunggu kalian," goda Mom. "Gun, pakai mobil Papa saja gih, biar cepat."
"Ya, Mom." Gunther tersenyum, berlari ke garasi.
"Mom?" Aku membalikkan tubuhku. Tersenyum menatap wanita setengah baya di depanku. "Terima kasih."
"Mom selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian. Kalau Runa suatu saat sembuh, ajaklah dia ke sini. Mom tunggu."
Aku mengangguk pelan. Mencium kedua pipi Mom, sebelum akhirnya berlari menghampiri Gunther dan Gisela.
"Hati-hati, ya?"



CHAPTER 3:
Oh, Dave!

Bau rumah sakit menusuk hidungku, begitu kulangkahkan kakiku menapaki lantai berubin putih. Berdiri di depan sebuah kamar dengan perasaan cemas. Menghimpun kekuatan sebelum akhirnya memutar handel pintu dengan bibir tersenyum.
Seorang gadis terbaring di ranjang dengan bibir pucat dan memakai kain penutup kepala bergambar Donal Bebek, kesukaannya. Langkahku terhenti tiba-tiba. Menatap wajah di depanku dengan hati giris. Kulirik gadis di sebelahku, yang sejak tadi hanya diam membisu.
"Diakah Runa?"
Aku mengangguk lemah. Memejamkan mataku, menahan butiran air hangat yang siap keluar dari kedua mataku. Perlahan mata itu terbuka, seperti sadar ada yang memperhatikan, dan menatapku seketika dengan tatapan tak percaya.
"Sisil?" Gadis itu mengusap kedua matanya.
Aku mengangguk.
"Benarkah itu kau?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Aku tersenyum menyambut uluran tangannya. Memeluk gadis itu, penuh kasih. Pertahananku bobol. Butiran bening yang kutahan sejak tadi keluar juga, mengucur deras membasahi kedua pipiku. Aku cepat menghapusnya, sebelum gadis itu mengetahuinya.
"Aku bermimpi kau akan datang. Ternyata kau sekarang sudah berdiri di depanku."
"Maafkan aku."
"Kenapa harus minta ma... ah, Dave, sini. Lihat siapa yang datang," ujar Runa senang, begitu Dave berdiri mematung di depan pintu.
"Sudah kubilang kan, jangan terlalu banyak bergerak. Nanti punggungmu sakit lagi," tegur cowok itu marah, sambil berjalan menghampiri Runa.
Aku meraba hatiku, tanpa sanggup menatap wajah tampan di depanku. Menelan ludah yang terasa pahit, dengan susah payah.
Ya, Tuhan... ada apa dengan hatiku? Padahal dulu sudah kuputuskan untuk melepaskan segalanya, dan membiarkan Runa bahagia. Tapi... melihat tatapan lembut yang dulu selalu untukku dan mampu membuatku tenang, kini hanya tertuju pada Runa, tanpa menoleh sedikit pun padaku, membuatku tak bisa menahan perasaanku.
"Sil?" Gisela menggenggam erat tanganku. Seperti meyakinkanku, kalau dia bisa kuandalkan. Aku tersenyum kelu. Aku masih punya kau, Gis. Benar begitu, kan? "Run, ini Gisela. Dia memaksa ikut. Katanya ingin melihatmu," kataku mengenalkan. "Dan ini...."
"Ah, pasti Dave, kan?" Gisela memotong kalimatku. "Apa kabar? Sisil sering bercerita tentang kalian."
"Terima kasih sudah menjaga Sisil," ujarku Runa pelan, tersenyum.
Gisela tersenyum sambil melirikku menggoda.
"Kalau tidak dijaga, dia ini bisa bahaya lho, Run. Keingintahuannya besar sekali," ujar gadis itu sambil tertawa.
Aku memukul punggung Gisela main-main. "Jangan bercanda, ah. Kau kan sama saja denganku."
Gisela tertawa.
"Sil...."
Aku terperangah. Mata itu sekarang ini lebih sering terlihat berbinar-binar. Bahagia sekali, gumamku dalam hati. Apakah itu karena kau, Dave? Aku tersenyum pedih.
Andai saja dulu bisa kutepis semuanya. Mengabaikan begitu saja permintaan orang yang sudah begitu baik merawatku. Orang yang sejak kecil kupanggil dengan sebutan Mama, yang kemudian kutahu adalah kakak kandung ibuku, mungkin sekarang ini... kita masih bersama, Dave. Tapi, hati kecilku selalu melarangku melakukannya. Ah, Dave, andai saja kau tahu... melepaskanmu saat itu, melepaskan cinta kita, adalah hal tersulit yang harus kulakukan.
Melihat matamu saat itu... ingin sekali rasanya mengatakan padamu kalau aku masih selalu mencintaimu. Kemarahanmu, ketidakterimaanmu dengan alasan yang kukatakan, membuat hatiku ingin menangis. Andai saja saat ini segalanya bisa kuubah, tak akan pernah kubiarkan semua lepas dari hidupku, Dave. Apakah kau mengerti itu? Aku menggeleng sedih. Tapi kini, walaupun kau mengerti, semuanya itu sudah terlambat!
"Sisil?"
"Eh, apa? Kau ingin sesuatu, Run?" tanyaku, sambil berusaha menutupi keterkejutanku.
"Tidak kok," gelengnya lemah. "Sudah bertemu Mama, kan? Apa kau sudah pulang?" Aku mengangguk. Gadis itu tersenyum menatapku. "Mama pasti senang sekali kau kembali. Seperti aku."
"Aku tahu, Run."
Runa menghela napas panjang.
"Bagaimana? Apa semuanya di sana sangat indah?" Runa bertanya dengan mata berbinar. "Aku ingin sekali bisa pergi melihat sendiri, tapi tidak apa-apa. Kau bawa foto-fotonya kan, Sil?" tanya gadis itu dengan suara terbata-bata.
"Kutinggal di rumah, Run. Tadi aku cepat-cepat datang ke sini. Jadi terlupa dibawa."
"Apa besok bisa kulihat?" Matanya menatapku penuh harap. Aku mengangguk pelan. "Untunglah," desahnya lega. "Aku takut tidak sempat melihatnya."
"Run!" seruku tak suka. "Aku tak mau lagi mendengar, kau berbicara seperti itu!" cetusku marah.
Runa tersenyum getir.
"Ini stadium akhir, Sil."
"Apa hubungannya?!" seruku.
"Sudahlah, Sil." Gisela menengahi. "Jangan teriak-teriak di sini. Suster lewat, kau diusir lho? Dianggap mengganggu orang sakit," kata Gisela sambil tersenyum menggodaku.
Runa tersenyum menatapku.
"Aku tak akan bicara seperti itu lagi. Ah, aku lupa. Bagaimana Mama tadi? Baik-baik saja, kan?"
Aku mengangguk.
"Aku tidak ingin menyusahkan Mama terus. Kemarin Mama sudah menungguiku seharian. Padahal ada Dave di sampingku, itu sudah cukup." Runa tersenyum, menatap sosok cowok di samping kanannya. "Kini ada kau, Sil. Itu sudah membuatku bahagia sekali."
Aku memejamkan mataku. Perih!
"Ada apa? Kau kenapa, Sil?" Runa menatapku cemas. "Dave, tolong panggil Dokter Bram," pintanya.
Aku buru-buru menggeleng dan tersenyum menghentikan kecemasannya. Jangan sampai dia tahu kau terluka, Sil. Aku menepuk pipi gadis itu lembut.
"Aku tak apa-apa, Run. Jangan cemas seperti itu. Cuma letih, kok," dustaku.
"Benar?"
Aku mengangguk.
"Yang harus dicemaskan itu kau, Run. Bukan aku!"
"Tapi... ah, Sil, periksalah. Wajahmu pucat sekali."
"Aku tak apa-apa. Aku keluar dulu, ya?" Kucium kening Runa. "Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Aku ingin cari minum dulu," kataku menjelaskan, ketika sekilas kutangkap mata Dave memandangku tak percaya. "Nanti temui aku di kantin ya, Gis. Tempat kita minum tadi," kataku lagi, sambil melihat ke arah Gisela.
"Nanti kususu," balas Gisela.
"Oh ya," ujarku pelan, menatap sosok cowok itu, "tolong jaga Runa ya, Dave," pintaku lirih, dan menghambur keluar dengan cepat.
"Sil...." Runa memanggilku dengan lemah. Ada apa denganmu, Sil? Gadis itu berpaling, memandang Dave. "Tolong kejar dia, Dave."
Gisela bangkit dari duduknya.
"Biar aku saja," cetusnya, menahan tubuh Dave, yang baru saja berdiri. "Aku tak terbiasa menjaga orang sakit," katanya lagi sambil tersenyum

.
CHAPTER 4:
Maafkan Mama, Sisil!

"Jangan membuatnya cemas seperti tadi, Sil."
Gelas yang kupegang berhenti di sudut bibirku. Aku mendongak, menatap sosok di depanku, dan tersenyum tipis begitu tahu siapa yang datang.
"Sil?"
"Kumohon jangan mengatakan apa pun lagi, Gis. Aku sudah lelah."
Gadis itu terdiam. Tangannya mendorong kursi di depanku. Duduk diam di sana sambil memandangku. Aku tersenyum jengah.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Kau masih mencintainya, kan? Jujurlah, Sil. Jangan menyangkal terus."
"Aku tak tahu, Gis. Melihat mereka berdua, hatiku sakit sekali." Aku tersenyum pedih. "Sebelum pulang, sudah kuputuskan segalanya. Bahkan tak memberikan dia penjelasan apa pun. Hanya memintanya menjaga Runa."
"Kau menyesal?"
"Masih bergunakah bila kukatakan?"
"Sil?"
"Dia masih menatapku seperti saat kutinggalkan. Jangankan menyapaku, menatapku saja, dia tak ingin lagi."
"Dia pasti tidak seperti itu, Sil."
Benarkah? Bahkan keingintahuanku apakah dia membenciku saja, aku tak berani menanyakannya.
"Andai dulu kau terima Kakak."
Aku tersenyum kecut.
"Apa yang bisa kuberikan pada Gunther, Gis? Cinta saja, aku tak tahu, apakah masih ada yang tersisa. Semuanya sudah lama hilang dari hidupku, tepat pada saat kuputuskan segalanya dengan Dave."
"Setidaknya kau bisa menemukan cinta yang tulus lagi, kan? Bisa memupus cintamu padanya."
"Sudah pernah kulakukan. Tapi hasilnya," aku menggeleng. "Tak bisa, Gis. Aku takut malah menyakiti hati Gunther. Aku tak ingin ada hati yang terluka lagi."
"Tak bisakah kau mencintai Kakak, Sil? Belajar membuka hatimu untuk orang lain?"
Aku tersenyum getir.
Andai saja bisa, apa pun juga kulakukan. Tapi cinta yang pernah kuberikan padanya, aku tak tahu, apa aku bisa memupusnya. Kenangan dari mereka berdua begitu kuat memasuki memoriku. Tak bisa dengan mudah kulepaskan, tanpa mengingatnya lagi.
"Sil?"
"Sudahlah," kataku pelan, sambil mengibaskan tanganku di udara. "Aku tak apa-apa." Aku tersenyum. "Impianku sekarang hanya ingin melihatnya sembuh, walaupun aku tahu kemungkinannya sangat kecil. Kalau itu saja terkabul, aku tak ingin minta apa-apa lagi."
"Tidak juga Dave?"
Aku tersenyum menatap gadis di depanku itu. Dan kemudian mengangguk lemah. Ya, Gis. Bahkan juga Dave! Aku beranjak dari dudukku, membiarkan Gisela mengikuti dari belakang. Aku menghela napas. Sudah terlambat, Gis. Aku menelan ludah pahit. Walaupun bisa kuubah, segalanya tak mungkin kembali sempurna!

"Mama senang sekali kau kembali."
"Aku tahu, Ma."
"Apa yang kau cari?" tanya Mama, begitu melihatku membongkar semua isi tasku.
"Foto," jawabku tanpa berpaling. "Rasanya kemarin sudah kutaruh di sini," kataku sambil mengeluarkan semua isinya.
"Ada di kamar Mama, Sil."
"Eh?" Aku menoleh dengan rupa terkejut.
"Kemarin tak sengaja Mama melihatnya, waktu ingin membereskan pakaianmu. Tak apa-apa, kan?"
Aku hanya menjawab dengan senyum. Membereskan semua yang sudah kubongkar, dan memasukkannya satu per satu ke dalam lemari.
"Setahun belakangan ini, Mama tak pernah melihatmu tertawa lepas seperti dulu. Bahkan senyum pun, sepertinya kau paksakan di depan Mama. Ada apa, Sayang?"
Aku menggeleng.
"Tidak ada apa-apa, Ma. Mungkin hanya lelah."
"Sepertinya tidak!" Mama memandangku cemas. "Di foto-foto itu, Mama melihatmu ceria sekali. Tertawa lepas tanpa ada luka, seperti saat kau mengatakan pertama kali pada Mama, bahwa kau mencintai Dave." Mama tersenyum mengenang. "Juga matamu yang berbinar bahagia, saat kau mengatakan kalian sudah pacaran."
"Ma, sudahlah."
"Apa ini karena Mama? Apa karena permintaan Mama?"
Aku terdiam.
"Mama kira, Mama tak akan pernah lagi menemukan luka di matamu setelah kau kembali. Tapi nyatanya," Mama menggeleng sedih. "Mama mungkin terlalu banyak berharap. Maafkan Mama ya, Sayang?"
Aku tersenyum tipis.
"Jangan merasa bersalah, Ma. Wajar kok, sebagai seorang ibu, Mama melakukannya. Jadi tak perlu mencemaskan Sisil."
"Sil, Mama tak bermaksud membeda-bedakan kalian. Mama hanya...."
"Ma, Sisil tak pernah menyalahkan Mama."
"Sil?"
"Mama melihat Gisela?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Sil?"
"Ah, itu dia," seruku senang, saat melihat gadis itu di luar, lewat kaca jendela. "Sisil pergi dulu ya, Ma?"
"Sil...," panggil Mama lagi, begitu aku sudah hampir mencapai ambang pintu. Aku membalikkan tubuhku perlahan, menatap wanita setengah baya, yang masih tampak cantik itu, dengan bibir tersenyum.
"Ada apa, Ma?"
"Apa hari ini tidak pergi ke rumah sakit?"
Aku tertegun. Benar! Kau punya janji dengan Runa, Sil! batinku. Tapi bagaimana jika Dave ada di sana? Dengan wajah yang bagaimana aku menemuinya?
"Sil?"
"Eh... ah, aku sampai lupa!" Kupukul keningku pelan. "Bagaimana kalau Mama saja? Sekalian foto-foto yang di kamar Mama, ya? Kemarin Runa ingin sekali melihatnya."
"Kau ingin pergi?"
"Aku... bagaimana, ya? Kemarin Sisil sudah janji mau nganter Gisela, Ma. Boleh, kan?"
Mama tersenyum. "Pergilah."
"Nanti kalau sempat, Sisil akan mampir, Ma." Aku mencium kedua pipi Mama, dan kemudian menghampiri Gisela.




CHAPTER 5:
Aku Ikhlas, Gisela!

"Apa yang kalian bicarakan?"
"Heh?"
"Tante menemuimu, kan?"
"He-eh."
"Apa lagi yang Tante inginkan?!"
"Tak ada. Mama hanya bingung dengan perubahan sikapku. Tak terbiasa katanya, melihatku diam sendirian."
"Kau jawab apa?"
Aku menggeleng.
"Tak ada!"
"Dan membuat Tante mengira kau bahagia?" Gisela tersenyum sinis. "Kau ini orang aneh, Sil. Mana ada orang yang rela melepaskan cintanya dengan mengorbankan kebahagiaannya."
"Ada, kok. Orang seperti itu ada di mana-mana, Gis. Tidak hanya aku."
"Sil?"
"Pengorbanan apa pun, tak akan pernah sia-sia, jika kita melakukannya untuk orang yang kita cintai."
"Walaupun harus kehilangan kebahagiaan sendiri?!"
Aku tersenyum tipis.
Hal itu, berulang-ulang kutanyakan dalam hatiku. Tapi jawabannya selalu saja sama. Tak peduli bagaimanapun caranya, kita sendiri yang harus bangkit memperjuangkannya.
Kasih sayang Mama, pengorbanannya, dan cinta yang pernah dan masih selalu kurasakan, mampukah kubalas dengan hal yang kecil itu? Kehilangan Dave, adalah hal yang sangat menyakitkanku. Tapi, akan lebih sakit lagi, jika kanker di tubuh Runa tak dapat dihilangkan. Jika aku harus kehilangan Runa, masih bergunakah semuanya?

"Ma?"
"Ah, sudah pulang?"
Aku mengangguk pelan. Mataku mengedari sekelilingku dengan rupa heran.
"Ma, kenapa tidur di sini?" tanyaku, begitu melihat perlengkapan tidur Mama di sofa.
"Mama menunggumu pulang. Tadi niat Mama sih, mencarimu. Tapi tak tahu kau pergi ke mana."
"Ma?"
"Sekarang Mama bisa tenang tidur. Tadi susah sekali, Sil. Mama takut terjadi apa-apa padamu. Gisela mana?"
"Sudah ke atas tadi. Ingin mengucapkan salam, tapi takut mengganggu tidur Mama."
"Ya, sudah. Mama tidur dulu ya, Sil."
"Ma," kejarku cepat, saat Mama sudah hampir menutup pintu. Kucium kedua pipi Mama dan tersenyum. "Makasih sudah mencemaskan Sisil. Selamat malam, Ma."
"Selamat malam, Sayang."
Aku berjalan gontai ke arah sofa, ketika pintu kamar Mama benar-benar tertutup. Menyenderkan tubuhku yang terasa penat, ke atas sofa.
Aku menghela napas panjang. Memejamkan mata perlahan. Membiarkan butiran bening bergulir jatuh membasahi kedua pipi.
Mama, bagaimana caranya aku harus bertahan? keluhku getir. Harus teruskah aku mengalah? Tak bisakah kuraih kebahagiaanku?
"Sil...."
Seseorang menepuk pundakku lembut. Aku terhenyak, begitu melihat Gisela duduk di sampingku dengan wajah cemas.
"Nih," Gisela menyodorkan bebarapa lembar tisu kepadaku. Aku tersenyum tipis.
"Makasih, Gis."
"Pantes, rasanya aku tak bisa tidur. Kau menangis lagi rupanya."
"Jangan cemas, Gis. Tidurlah!"
"Membiarkanmu sendirian melawan kesedihanmu?" Gisela menggeleng pelan. "Aku benci sekali melihatmu seperti ini, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kumohon, Sil. Jangan terus menyiksa dirimu."
"Aku tak apa-apa."
"Benarkah?" Gisela menatapku. "Kau berbohong, Sil."
"Gis, tak bisakah kau tinggalkan aku sendirian?"
"Aku bukannya ingin cerewet, Sil. Kalau kau terus seperti ini, tanpa sanggup mengatakan pada Tante perasaanmu, bukan hanya gadis itu yang sakit. Tapi kau juga!"
"Aku tak ingin menyakiti Mama."
"Menyakiti? Kau pikir apa yang dilakukan Tante padamu?!" teriak gadis itu marah. "Itu tak adil, Sil! Kau tak perlu mengorbankan semuanya."
"Jangan teriak-teriak, Gis. Mama bisa mendengarnya."
"Aku tak peduli!"
"Gis?"
"Biarkan saja dia mendengar!"
"Kumohon, Gis. Jangan membuat Mama sedih."
"Tak bisakah kau mengatakan padanya, kalau permintaannya yang tak wajar itu, menyakitimu terlalu dalam?!" ujar gadis itu. "Kau sudah cukup membayar semuanya, Sil."
Aku menggeleng lemah. Menatap gadis itu pilu.
Tak pernah ada kata cukup, untuk membayar semua yang telah dilakukan seorang ibu pada anak-anaknya, Gis. Hanya kewajiban membahagiakannya terus, yang dapat kulakukan pada Mama, dengan tidak membiarkannya menderita. Salahkah?
Sementara itu, di balik pintu kamar yang tertutup rapat, seseorang mendengarkan semuanya dengan hati sedih.



CHAPTER 6:
Aku Masih Mencintaimu, Sisil!

"Pagi, Tante."
"Oh, Gisela." Mama tersenyum. "Mau makan?"
"Nanti saja, Tante. Gis cuma mau minum."
"Tante bikinin, ya?"
Gisela menggeleng sambil tersenyum.
"Tidak usah, Tante. Cuma bikin susu saja, semua orang juga bisa, kok."
"Oh, sudahlah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong, Tante boleh tanya sesuatu, kan?"
Gisela berpaling pelan, menatap ibu temannya itu dengan kening berkerut. Tanpa menghentikan kegiatannya mengaduk susu, gadis itu mengangguk.
"Ada apa, Tante?"
"Tidak, kok. Tante hanya ingin tahu tentang Sisil."
"Oh, kalau tentang Sisil sih... Gis tidak tahu apa-apa, Tante," dusta gadis itu."
"Benar?"
"He-eh." Gisela mengangguk cepat-cepat. "Memangnya kenapa, Tante? Ada masalah?"
Mama menggeleng lemah.
"Tante mendengar kalian ribut kemarin."
"Heh?" Gisela terhenyak. Umpan yang bagus sekali, batin gadis itu. "Oh, tentang itu. Biasa Tante, namanya juga anak muda. Mom juga suka bingung dengan kelakuan kami."
"Begitu?"
"Ya."
"Sudahlah! Lupakan saja. Tante hanya ingin tahu." Mama terseyum. "Sisil mana, ya? Sejak tadi belum kelihatan. Apa masih tidur?" tanya Mama, seperti pada diri sendiri.
"Sudah bangun sejak pagi tadi. Bilangnya sih, ingin ke toko. Mau beli kain penutup kepala, buat Runa katanya. Tidak pamit pada Tante?"
Mama mengerutkan dahinya. "Ah, mungkin Tante yang lupa."
Gisela tersenyum. "Gis mandi dulu ya, Tante. Sisil kemarin bilang mau ngajak ke rumah sakit."
Mama mengangguk, membiarkan Gisela mengakhiri pembicaraan. Cuma satu yang terlintas di benaknya untuk saat ini. Harus dia sendiri yang menanyakannya pada anak gadisnya! batin Mama

Dave memarkir mobilnya, beberapa meter di depan sebuah toko, begitu dilihatnya seorang gadis berjalan pelan memasukinya. Dia menurunkan kaca jendelanya sedikit, agar bayangan gadis itu masih bisa dilihatnya, walau dari jarak yang lumayan jauh. Apalagi ditambah dengan lalu-lalang orang-orang dan berbagai jenis kendaraan, yang melewatinya.
Dave menghela napas berat.
Di mana-mana, sekarang ini dia tak bisa lagi berbicara dengan gadis itu. Walau sekuat apa pun keinginan untuk bertemu, dia kini hanya bisa mengerti, bahwa semua itu tak mungkin terjadi. Gadis itu sudah memilih. Dan dia juga tahu, bagaimana kukuhnya keputusan itu.
Dave mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mengusir perasaan gundah yang kerap hadir bila melihat tatapan gadis itu begitu terluka bila di dekatnya. Apalagi jika diingat, bagaimana dulu dia berusaha menahan perasaannya, saat langkah kaki yang terasa berat untuk diayunkan itu, semakin menjauh, pergi meninggalkannya untuk beberapa saat.
Oh, Tuhan... salahkah bila aku mencintainya? tanyanya pahit dalam hati.
"Awaasss...."
Teriakan itu membuyarkan semua lamunannya. Dia tersentak kaget, saat melihat di kejauhan sebuah mobil mengerem mendadak di depan toko, dan gadis itu tertunduk di depannya dengan plastik belanjaan terlempar dua jengkal dari tempat gadis itu.
Dia buru-buru membuka pintu mobil dan menghambur menghampiri gadis itu.
"Sisil, kau tak apa-apa?"
"Dave...."


CHAPTER 7:
Aku Mencintaimu, Bukan Runa!

"Masih sakit?"
Aku menggeleng lemah.
"Makasih."
"Jangan buat aku seperti itu lagi. Jantungku rasanya berhenti berdetak, melihatmu tertunduk di depan mobil tadi."
"Aku tidak apa-apa."
"Dengan lutut berdarah dan tangan nyeri, masih kau bilang tidak apa-apa?" Dave menatapku cemas.
Aku berpaling cepat. Menggigit bibir kuat-kuat, agar butiran hangat itu tidak tumpah di depannya. Tidak, gelengku lemah. Dave tidak boleh sampai tahu, kalau aku menangis. Aku tahu dia paling tidak bisa melihatku sedih. Baginya, kebahagiaanku di atas segalanya. Jadi, kalau aku sampai menangis, semua yang telah kulakukan, akan sia-sia.
"Sil?"
"Eh?"
"Diobati dulu, ya? Biar sakitnya berkurang."
Aku menggeleng.
"Biar aku saja. Aku tak ingin Mama sampai tahu."
"Kenapa kau selalu seperti itu?"
"Sudah dari sananya, Dave," ujarku sambil tersenyum kecut. "Ah, pergilah!"
"Apa?"
"Kau ingin ke rumah sakit, kan? Runa pasti sudah menunggumu. Tak boleh lho, membiarkan orang sakit sendirian," candaku pilu.
"Tak bisakah sekali saja, jika bersamaku, kau tak menyebut nama Runa?"
"Dave?"
"Berjanjilah, kau tak akan pernah pergi lagi."
Aku terdiam. Memandang lalu lalang kendaraan dengan tatapan pilu. Kemudian seperti teringat sesuatu, kubuka pintu mobil. Entah sudah berapa banyak waktu yang telah kuhabiskan di dalam mobil Dave.
"Kau ingin ke mana, Sil?" Dave menahan tubuhku, berusaha mencegahku untuk membuka pintu mobilnya.
"Aku ingin pulang."
"Kuantar!"
Aku menggeleng berulang kali.
"Aku naik taksi saja, Dave. Tak enak jika Mama melihatnya. Mama bisa salah paham."
"Sil?"
"Aku boleh minta tolong, kan? Sekali saja."
"Apa?"
"Berikan kain penutup kepala itu ke Runa. Kalau dia tanya, bilang saja tadi kau mampir dulu ke toko. Runa pasti senang."
"Bagaimana kalau aku tak mau?"
"Kumohon, Dave."
"Baiklah," kata Dave pada akhirnya. "Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kuantar kau pulang!"
"Dan membuat kening Mama berkerut melihatku berada dalam mobilmu?" Aku menggeleng. "Tidak, Dave. Aku sudah berjanji pada Mama."
"Sekali ini saja, Sil. Bisakah kau berhenti menghindariku?"
Aku menggeleng sedih. Menatap cowok itu putus asa.
"Aku tidak bisa, Dave. Mengertilah!"
"Aku juga ingin kamu mengerti satu hal," ujar cowok itu tiba-tiba. menatapku dengan mata serius. "Aku tak bersedia memenuhi permintaanmu. Jangan potong dulu," katanya cepat, ketika dilihatnya aku ingin membantah kata-katanya. "Aku menemaninya karena kau yang minta. Ingat? Jadi jangan paksa aku, untuk jatuh cinta padan Runa!"
"Dave?"
"Tak bisakah kau mengerti, kalau cinta tak bisa diatur seenaknya?! Aku mencintaimu, Sil. Bukan Runa!"
"Dave?"
"Aku benci sekali melihatmu terluka setiap melihat kami berdua. Sudah cukup! Aku tak ingin kau menderita lebih jauh lagi!"
"Runa sakit, Dave. Mungkin usianya tidak akan lama lagi. Dia membutuhkanmu!"
"Dan kau sendiri?!"
Aku? Masih berartikah jika kukatakan? Sementara aku tahu, satu-satunya kekuatan untuk Runa bertahan, hanya cinta cowok ini. Kalau kutepis lagi, berapa banyak orang yang kucintai akan bersedih?
"Sil, tak bisakah kita seperti dulu?"
"Kau tahu, itu tak mungkin, Dave!"
"Sil?"
Ah, aku menghela napas. Kenapa kau tanyakan hal itu, Dave?
Aku lelah sekali, Dave. Mungkin akan lebih baik, jika aku tak pernah kembali. Menetap saja selamanya di Jerman. Dan berharap akan menemukan cinta sejati yang baru. Seperti kata Gisela, mungkin seharusnya aku mau membuka hatiku, belajar menerima kebaikan yang lain. Menerima Gunther, misalnya?

CHAPTER 8:
Maafkan Aku, Sisil!

"Sil, ya ampun. Dari mana saja, sih?" Gisela menyambutku begitu aku turun dari taksi. "Tante tadi panik sekali."
"Ada apa?" tanyaku cemas. "Mama di mana sekarang?"
"Rumah sakit. Ada telepon, katanya Runa kambuh lagi."
"Apaaa?! Apa Mama bilang, operasi?" tanyaku gugup.
"Aku tak tahu, Sil. Kau ingin ke sana?"
"Ayo, naik taksi saja, ya? Situasi seperti ini, aku cepat kalut kalau mengemudi."
"Sil?"
"Aku takut sekali, Gis. Firasatku sangat jelek!"
"Tenang, Sil. Runa pasti baik-baik saja."
Aku selalu berharap begitu. Tapi melihat badannya menurun dengan cepat, rambut terus rontok, dia begitu lemah, membuatku selalu merasa takut, saat itu akan tiba!

"Sil?"
"Bagaimana Runa, Ma? Di mana dia?"
Mama memelukku erat. "Dokter Bram sedang berusaha, Sayang. Berdoa saja, ya? Mama takut sekali, Sil!"
"Ma?"
Pintu kamar Runa terbentang lebar. Dokter Bram membentangkan kedua tangannya, sambil meminta maaf pada Mama. Aku menatap tak percaya.
Tidak, Tuhan....
Jangan kau ambil dia! gumamku dalam hati.
"Sekarang masih ada waktu, kira-kira tiga hari lagi."
"Dokter, kumohon dicoba lagi," pintaku.
"Sil?" Gisela memelukku lembut. "Beliau pasti sudah berusaha."
"Ini salahku!"
"Sil...." Dave berlari keluar memanggilku. "Runa mencarimu. Cepatlah!"
Aku berlari masuk ke ruang Gawat Darurat. Menghampiri ranjang Runa.
"Sisil...."
"Aku di sini, Run. Jangan cemas. Aku tak akan meninggalkanmu." Kugenggam kedua tangannya erat. Aku mendesah sedih, saat tangannya mulai terasa dingin, ketika kusentuh. Tanpa sadar butiran hangat mengalir deras membasahi kedua pipiku. Aku menggigit bibir, menahan isak agar tak terdengar oleh gadis itu.
Runa tersenyum. Tangannya terangkat, menghapus airmata di kedua pipiku.
"Jangan menangis, Sil."
"Aku... ah, Run... bertahanlah!"
"Kemarin aku mimpi bertemu Papa, Sil." Runa tersenyum. Matanya menerawang ke atas. "Papa bilang 'Di sini damai sekali, Sayang'. Aku sudah lelah, Sil. Ingin ikut Papa."
"Jangan tinggalkan aku!"
"Sil, maafkan aku, ya?" Runa menatapku dengan sedih. "Maaf, karena telah membuatmu sedih. Aku egois, ya? Menghancurkan cinta kalian," katanya dengan suara terbata-bata. "Aku sudah merebut Dave darimu!"
Aku menggeleng berulang kali.
"Jangan katakan apa pun, Run. Aku sayang kau."
"Suratmu sudah kubaca, Sil. Indah sekali. Makasih, ya?"
"Kalau sudah sembuh, kita akan melakukannya lagi, jika gerimis datang. Seperti dulu."
"Aku sudah tidak kuat, Sil. Kalau terjadi apa-apa, tolong jaga Mama, ya?"
Aku mengangguk beruntun.
"Sil, maukah kau memenuhi permintaanku?"
"Ya."
"Kembalilah pada Dave. Dia sangat mencintaimu!"
"Runa?!"
"Kenapa kau selalu berkorban untukku?" Runa memandangku sedih. "Kalau kau katakan sejak awal, aku tak akan menyita seluruh waktunya untukku. Maafkan aku dan Mama ya, Sil?"
Aku mengangguk lemah.
"Katakan pada Mama, aku sayang padanya."
"Mama pasti tahu itu, Run."
"Aku sekarang ingin tidur. Besok bangunkan aku, ya?"
Aku mengangguk lagi.
"Jangan lupa ya, Sil?"
"Iya. Aku janji."


CHAPTER 9:
Terima Kasih, Runa!

Runa Sayang....
Hari ini gerimis turun lagi. Mengguyur basah 'rumah'mu. Seperti ingin mengucapkan selamat tinggal. Membuatku semakin mengingat setiap detik kenangan kita. Dan kau juga yang memberikan semua hal yang terindah itu, dalam hidupku.
Runa....
Kadang kala, sebersit keinginan datang, setiap kali rindu begitu menyesak dada. Tapi sudah tak ada tempat, jika aku ingin berjumpa.
Oh ya, Mama baik, Runa. Dia titip salam sayang dan cintanya. Untuk satu hal ini pun, aku harus berterima kasih, karena kau telah mau 'membagi' semuanya padaku. Memberikan kasih seorang ibu, yang sangat kucintai.
Runa Sayang....
Daun-daun berguguran setiap hari. Terasa sepi sekali tanpamu. Bagai setengah nyawa hilang dari hidupku. Apakah kau juga? Padahal setiap hari aku ke sini. Kadang ditemani Mama, ditemani Gisela, atau juga Dave. Kau senang kan, mereka menemanimu?
Seperti juga waktu yang bergulir, aku berjanji tak akan membuatmu sepi. Aku bahkan masih selalu merasa kau di sampingku. Tertawa lepas berdua. Apalagi jika suasananya seperti ini. Gerimis yang turun satu per satu, seakan membentuk bayanganmu. Juga bayangan saat kita biasa menikmati dinginnya gerimis dengan senyum. Berteriak-teriak kesenangan seperti anak kecil. Aku rindu sekali.
Runa Sayang....
Andai kau ada di sampingku, mungkin saat ini, kita bisa ulangi hari-hari yang terlewat. Berdua bercanda tanpa peduli sekeliling kita. Apakah di sana kau mendengarnya, Runa?

"Sudah waktunya pulang, Sil."
Aku mendongak. Seorang gadis tegak berdiri di sampingku dengan wajah cemas. Aku tersenyum tipis.
"Sudah sore, Sil. Kau bisa melanjutkan kapan saja, jika masih ada yang ingin kau sampaikan."
Aku menggeleng. Menaburkan bunga terakhir yang masih tersisa dan menyiramkan semuanya dengan air.
"Terima kasih mau menemaniku."
"Jangan melampiaskan kesedihan dengan datang setiap hari ke sini, Sil. Runa pasti tidak akan senang melihatmu seperti ini."
"Gis?"
"Kalau kau masih seperti ini, aku tak mungkin meninggalkanmu. Ikutlah ke Jerman, Sil. Kau bisa melupakan semuanya walaupun sejenak."
"Aku tak bisa meninggalkan Mama."
"Juga Dave?"
Aku tersenyum kecut.
"Kau pikir, apa masih ada yang tersisa?" Aku menggeleng. "Mungkin hanya ilusiku, tapi... setiap melihatnya berjalan, aku selalu merasa kalau Runa ada di sampingnya. Setiap Dave pergi, bayangan Runa selalu mengikutinya. Masihkah kau katakan, kami bisa bersama?"
"Tapi setidaknya, kalian saling mencintai, Sil." Gisela menatapku lembut. "Kau tahu apa yang dikatakannya padaku kemarin?"
Aku menggeleng lemah.
Gisela tersenyum, memeluk bahuku lembut. "Dia bilang, akan menjagamu selama hidupnya. Hei, aku terharu sekaligus bahagia mendengarnya. Dan aku yakin, Runa pasti sependapat denganku. Raihlah kebahagiaanmu, Sil!"
Aku termangu. Tanpa sadar, butiran kristal mengalir deras dari kedua mataku. Apakah kau juga mendengarnya, Runa?
"Lusa aku kembali. Kau ingin ikut? Mom pasti senang melihatmu lagi."
"Gis, terima kasih."
"Itu gunanya sahabat, kan?"
Aku tersenyum. Perlahan memutar tubuhku, melihat di kejauhan onggokan tanah yang masih merah. Aku bergumam pelan. Selamat tinggal, Runa!

"Sisil...."
Sesosok tubuh menerjang masuk, di antara rinai gerimis. Dengan baju basah kuyup, berdiri di depanku dengan bibir tersenyum. Aku tertegun. Dave?
"Ayo, ikut aku," katanya sambil menyeret tanganku agar mengikutinya. Baru beberapa meter dia berhenti, dan berpaling menatapku.
"Sama, kan?" teriaknya. "Jadikan aku pengganti Runa. Begini, kan?" tanyanya sambil berteriak-teriak di tengah jalan. Menyipratkan air ke semua tubuhku. Aku terdiam. Menggigit bibir, berusaha menahan isak yang hampir terdengar. Membiarkan titik-titik air membasahi wajahku.
"Sisil?"
"Sudahlah! Cukup, Dave."
"Jangan disimpan sendiri. Beginilah kesedihanmu denganku. Ya?"
"Dave?"
"Berikan aku kesempatan. Kita ulangi semuanya dari awal lagi. Maukah?"
Aku terdiam. Bayangan Runa terlihat lagi. Di antara rinai gerimis, di antara ranting-ranting basah, di antara desau angin, tersenyum lembut ke arahku. Inikah yang kau inginkan, Runa?
"Maukah?"
Aku mengangguk pelan.
Sesaat kemudian, dia telah merangkulku dalam dekapannya yang hangat. ©



TAMAT
By Yhoppy Apriliansyah Hidayat  (07-11-2010, 02:45 am)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar