Sabtu, 30 Juni 2012

TALI KASIH OCIT DAN ANGGA



TALI KASIH OCIT DAN ANGGA
BAB I:
OCIT DAN ANGGA

Buuum!
Angga yang tengah memandikan sepeda motor Tiger-nya tersentak kaget mendengar suara itu. Tanpa mencuci tangannya yang penuh busa shampo, ia berlari kencang ke kamarnya.
"Ociiiit!" Terdengar lengkingan Angga dari kamarnya.
Mama yang sedang membaca di ruang tamu menoleh heran.
Di dalam kamar, tepatya di samping buku-buku yang berserakan, Ocit tertunduk gemetar.
"Aku sudah bilang, jangan masuk ke sini!" omel Angga dengan suara menggelegar.
Ocit semakin gemetar. "So-sor-sori! Ocit nggak se-seng...."
"Nggak sengaja, nggak sengaja!" potong Angga ketus. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya galak.
"Ocit cuma mau minjem...."
"Minjem, minjem!" sela Angga lagi, tidak memberi kesempatan pada Ocit. "Minjem apa nyolong?" Angga melotot.
"Minjem," jawab Ocit hampir menangis.
"Minjem tapi nggak bilang-bilang?! Mana berantakin kamar lagi!"
"Ocit beresin, deh...."
"Nggak usah!" sergah Angga tambah melotot. "Kamu keluar saja. Cepat!" usirnya seraya membuka pintu lebar-lebar.
Ocit melangkah pelan. "Tapi...." protesnya takut-takut.
"Apa tapi-tapi?!" Angga memasang tampang kejam.
Ocit berlari keluar dan duduk di samping Mama. Ia menyembunyikan wajahnya di belakang Mama.
Angga membanting pintu kamarnya dan berjalan keluar dengan mata yang masih terus melotot pada Ocit.
"Awas kalau berani masuk lagi!" ancamnya.
"Angga," lerai Mama sambil mengelus rambut Ocit.
"Dia yang salah, Ma. Masa kamar Angga diberantakin. Buku-buku pada jatuh semua," adu Angga.
"Kan Ocit cuma mau minjem buku," bela Ocit.
"Minjem apa nyolong?! Nggak minta izin dulu!" Angga mendekati Ocit yang segera bersembunyi kembali di belakang Mama.
Ocit seperti tikus yang hanya menongolkan sedikit kepalanya untuk menengok.
"Awas kamu kalau berani masuk lagi!" Angga mengacungkan telunjuknya yang tertutup busa pada Ocit yang cemberut.
"Angga!" tegur Mama.
Angga mencibir. "Dasar anak manja!"
BAB II:
MASAK SENDIRI

"Ociiiit!" teriak Angga yang baru pulang. Ia meneguk segelas air es. Tapi Ocit tidak muncul.
Angga membuka pintu kamar Ocit. Cewek SMA kelas satu itu sedang asyik mendengarkan lagu lewat ipod.
"Hoooooi!" teriak Angga kencang membuat Ocit terloncat dengan wajah shock. Angga terkekeh. "Mama mana?" tanyanya tanpa merasa berdosa.
"Pergi!" jawab Ocit ketus.
"Lunch-nya kok nggak ada?"
"Mama nitip duit, beli sendiri katanya."
"Masak sendiri, ah!" kata Angga sambil berjalan keluar.
Ocit mengekorinya. "Mau masak apa, Ga?"
Angga membuka kulkas, menengok apa yang bisa dimakannya.
"Telur," jawabnya sambil mengeluarkan sebutir telur. Kemudian ia menyiapkan penggorengan dan menyalakan kompor. Dengan bersiul-siul kecil ia mulai memasak. Ia memang jago masak.
Telur yang telah dimasak ditaruhnya di piring lalu dipotong-potongnya menjadi kecil. Ia lalu mengambil tomat, bawang merah, cabe dan entah apa lagi lalu ia mulai memotong-motong semua itu.
"Katanya masak telur, kok pakai tomat?" tanya Ocit yang sedari tadi berada di sampingnya, heran.
"Telur kuah ala Angga," jawab Angga seenaknya.
Ia lalu mencampurkan semua itu dengan menambahkan bumbu-bumbu dapur Mama. Kemudian ia memasak lagi dengan memasukkan telur yang tadi, air dan entah apa lagi.
Ocit bingung.
Tercium bau harum yang membuat perut Ocit berteriak-teriak. Ocit menelan ludah. "Kayaknya enak ya, Ga?"
"Oh, so pasti itu. Angga!" balas Angga sombong.
"Masakin Ocit juga, dong!" pinta Ocit.
"Masak sendiri! Cewek nggak bisa masak, payah," omel Angga.
Ocit cemberut. "Ayo dong, Ga," bujuknya memelas.
Angga mencibir. "Nggak!"
Ocit berjalan pergi dengan wajah kesal bercampur sedih.
Angga melirik. Merasa kasihan juga. "Nih!" teriaknya keras. "Buat kamu. Awas kalau nggak dihabisin."
"Makasih ya, Ga," ucap Ocit sambil mengambil piring.
Angga memasang wajah galak, pura-pura tidak mendengar. Tapi sesekali diliriknya Ocit yang makan dengan lahap. Ada senyum di bibirnya.


BAB III:
OCIT MENANGIS

Angga menguap, diliriknya jam kamarnya. Jam tujuh lewat. Ia keluar. Eh, kok masih sepi sih? Sayup-sayup terdengar suara Metalica dari kamar Ocit. Baru saja Angga akan membuka kamar Ocit ketika telinganya menangkap isakan kecil. Eh! Kok Metalica menangis, sih? Versi baru, ya? Ia berpikir sejenak. Atau...
Angga menempelkan daun telinganya ke pintu. Benar! Si Ocit yang menangis.
Angga duduk di depan pintu kamar Ocit, sibuk berpikir apa yang membuat si Bontot itu menangis. Gara-gara Mama pergi tidak ngajak Si Ocit?
Angga menggeleng.
Ocit kan sudah gede, nggak suka ngekor lagi. Gara-gara dia suka ngeledekin Ocit? Angga kembali menggeleng. Perasaan selama ini ledekannya masih wajar-wajar saja. Atau....
Mata Angga membulat.
Pasti gara-gara cowok! Si Ocit mungkin lagi jatuh cinta tapi nggak kesampaian. Atau mungkin ada cowok yang nyakitin Ocit, ya?
Angga menggeram.
Ia lalu mengendap-endap mendekati telepon di ruang tamu yang persis berada di samping kamar Ocit. Dipencetnya beberapa nomor.
"Halo," ucapnya berbisik.
"Halo," terdengar nada heran di ujung.
"Dini, ya?" Angga masih berbisik.
"Iya. Ini siapa, sih?"
"Angga," bisik Angga lagi sambil melirik deg-degan ke pintu kamar Ocit.
"Siapa?"
"Angga," ulang Angga berbisik serak.
"Angga yang mana?"
"Angganya Ocit! Eh, Si Ocit kenapa, sih?"
"Kenapa bagaimana?" tanya Dini bingung.
"Kok dia nangis?" Angga kembali melirik kamar Ocit. Mudah-mudahan Ocit nangis terus dan nggak keluar! doanya dalam hati.
Dini terdiam di seberang.
"Aku tanya Si Ocit kenapa?" ulang Angga mulai tak sabar.
"Ng...."
Angga mendesis jengkel. "Mau ngomong nggak, sih?"
"Entar Si Ocit marah kalau...."
"Aku nggak bakal kasih tahu, deh!" sela Angga cepat.
"Bener?"
Angga mengangkat dua jarinya. "Eh! Bener! Bener!" ucapnya cepat, sadar kalau Dini tidak bisa melihatnya.
"Roy ngecewain Ocit."
"Apa?!" Angga berteriak marah. Ia mendekap mulutnya, kaget dengan suaranya sendiri. Matanya melirik curiga ke pintu kamar Ocit. Pintu itu tidak terbuka. Angga menghembuskan napas lega.
"Halo? Kamu masih ada?"
"Iya, iya! Si Roy tadi kenapa?" Angga kembali berbisik.
"Si Roy ngomong kalau dia tuh jatuh cinta sama Vera, padahal dia tahu kalau Ocit tuh suka
Sama di...."
"Kurang ajar!" desis Angga marah.
"Eh, tapi...?"
"Roy itu kelas berapa?" sela Angga.
"Kelas satu empat. Mau ngapain, Ga?" tanya Dini khawatir.
"Nggak kok!" Angga mengubah suaranya menjadi manis. "Cuma pengen tahu saja," bohongnya. "Sudah ya, dan makasih buat infonya," lanjutnya lagi mengakhiri.
"Eh, tapi bener lho, nggak bilang ke Ocit?"
"Bener! Bye-bye, Dini Manis!"
Angga mengepalkan tangannya. Senyumnya menghilang.
"Awas kamu!" geramnya dengan wajah sangar.

BAB IV:
MENDATANGI ROY

Roy memaksakan sebuah senyuman.
"Maaf ya, Cit! A-aku... salah, nggak seharusnya aku nya-nyakitin kamu," ucapnya tersendat-sendat. "Maafin aku, ya?" pinta Roy dengan wajah memelas.
Ocit dan Dini bengong melihat wajah Roy yang babak belur.
Tapi Ocit mengangguk juga walau tak mengerti.
Roy tersenyum lagi, tapi seperti meringis. Kemudian ia berlalu dengan tergesa-gesa.
"Eh," Dini menyikut Ocit. "Si Roy kenapa ya, pakai minta maaf segala? Mukanya lagi, kok ancur begitu?"
Ocit ikut-ikutan mengerutkan keningnya.
"Jangan-jangan...," kata Dini terputus, teringat sesuatu.
Ocit menoleh. "Jangan-jangan apa?"
"Angga, dia...?" Dini
Kembali terdiam.
"Angga?" Ocit semakin bingung. "Angga kenapa?" desaknya.
Dini menelan ludah. Menyumpahi Angga dalam hati.
"Kemarin, dia nelepon aku, tanya kok kamu nangis. Trus aku...," Dini tidak melanjutkan. Ia menatap Ocit takut-takut. "Maafin aku, soalnya Angga bilang cuma pengen tahu, jadi...."
Ocit tersandar lemas.
Jadi Angga yang nonjok Roy sampai babak belur begitu?
Ada rasa bersalah dan haru yang menyergap Ocit.
Cowok jangkung yang sebentar lagi jadi mahasiswa itu lagi asyik ribut dengan gitarnya.
Ocit masuk, memperhatikannya tanpa suara.
Angga menoleh. "Apa?" tanyanya sambil kembali ribut. Mulutnya mengeluarkan bunyi yang aneh.
"Makasih ya, Ga," ucap Ocit pelan.
"Memang aku ngasih kamu duit?"
"Karena memperhatikan Ocit. Tapi lain kali jangan sampai mukul begitu."
Angga menoleh, menghentikan nyayian kacaunya.
"Mukul siapa?" tanyanya dengan kening berkerut, berlagak heran.
"Kasihan lho Roy, dia sampai ketakutan begitu," lanjut Ocit.
"Roy? Roy yang mana?" Angga pura-pura bingung. "Kamu ngomong apa, sih?" suaranya teredengar kesal.
"Biar kamu nggak mau ngaku, tapi Ocit tahu kok kamu yang mukul Roy," kata Ocit yakin. "Makasih ya, sudah mengkhawatirkan Ocit. Tapi, sebenarnya Ocit nggak apa-apa kok!" lanjut Ocit tersenyum manis. Kemudian ia keluar.
Angga terkekeh.
"Hihihi, ternyata Si Roy benar-benar pergi minta maaf," gumamnya senang sambil menyanyi lagi. Nyanyian aneh!

BAB V:
MENUNGGU OCIT PULANG

"Ocit ke mana sih, Ma?" tanya Angga tampak kesal.
"PMR," jawab Mama acuh tak acuh.
Angga mondar-mandir di ruang tamu. Uring-uringan sendiri. "Ocit ke mana, sih?" gumamnya jengkel sambil melirik jam.
Papa yang tengah nonton tivi menoleh. Mama juga.
"Kenapa?" tanya Mama heran. "Janjian dengan Ocit?"
"Gengsi!" Angga mencibir. Tapi ia masih juga gelisah. Ia lalu membuka pintu. "Angga ke toko dulu, ya?"
Lima belas menit berlalu. Mama melirik jam, mulai merasa resah. "Ocit ke mana, ya?"
Papa ikut melirik jam. "Macet barangkali," katanya menenangkan. "Kita tunggu di luar saja, yuk?" ajaknya pada Mama.
Mereka keluar bersama-sama.
"Nunggu di depan lorong saja ya, Pa," ajak Mama tak sabar.
Papa mengangguk, menjejeri langkah Mama. Tapi langkah Mama terhenti melihat seseorang yang berdiri gelisah di ujung jalan.
"Angga!"
Angga tersentak kaget dengan mata melotot.
"Ngapain kamu di sini? Katanya mau ke toko?"
"I-iya, baru dari toko," bohongnya salah tingkah.
Mama menatapnya dengan senyum tertahan. "Nungguin Ocit, ya?"
"Ah! Nggak kok!" sangkal Angga cepat.
Papa ikut tersenyum. "Ya, sudah. Kamu saja yang nungguin Ocit," katanya seraya menggandeng Mama pulang.
Sepuluh menit kemudian Ocit membuka pintu dengan wajah cemberut. Tak lama Angga ikut masuk.
"Kok terlambat, Cit?" tanya Mama.
"Latihannya dipanjangin!" jawab Ocit ketus. Diliriknya Angga dengan mulut yang maju beberapa senti. "Norak, ih! Pakai nunggu di depan malu-maluin saja! Teman-teman Ocit pada ketawa!"
Angga menjulurkan lidah. "Siapa yang nunggu kamu?" balasnya tak mau mengaku sambil ngeloyor masuk kamar.
Mama tersenyum geli. Papa juga.



BAB VI:
OCIT TIDAK BOLEH PERGI

Angga melongo heran melihat Ocit memeluk buku segede bantal itu ke kamarnya.
"Ma," ia mendatangi Mama yang sedang sibuk memasak, "Si Ocit bawa apaan, tuh?"
"Kamus bahasa Jerman," jawab Mama sambil terus memasak.
"Kamus? Mau ngapain? Memangnya Ocit mau jadi guide, ya?"
"Bukan," Mama membuka panci, "Ocit ikut pertukaran pelajar."
"Hah! Pertukaran pelajar?" ulang Angga tak percaya.
Mama mengangguk, berjalan ke belakang. Angga mengekor dengan penasaran. "Kok Angga nggak dikasih tahu, sih?" protesnya.
Mama tertawa kecil. "Ocit sudah bilang sama Papa dan Mama."
Angga cemberut. "Kok Si Ocit ikut yang begituan, sih?"
Kening Mama berkerut, tapi tangannya terus bekerja. "Ocit diminta sekolah untuk ikut. Adikmu itu kan, pintar."
"Mama izinin?" kejar Angga terus mengekor.
Mama mengangguk.
"Nggak bisa," protes Angga lagi. "Angga nggak ikut-ikutan yang begituan, masa Ocit ikut?"
"Lho, Mama kan nggak ngelarang kamu ikut, Ga," balas Mama.
"Tapi Ocit kan cewek, entar di sana ada apa-apa, kan gawat," alasannya. "Nggak boleh!" tegasnya seakan ia yang memutuskan.
Mama meliriknya heran. "Kamu ini?"
Angga mencibir. "Sori! Angga nggak minat ikut begituan."
Mama menggeleng tidak mengerti.
Angga duduk di kursi. "Angga kan, sudah bilang, Ocit itu cewek, masih kecil dan polos. Entar ada yang mainin kan...." Angga memilin-milin serbet di meja, tidak menyelesaikan kalimatnya.
Mama duduk di samping Angga sambil tersenyum lembut.
"Jangan diizinin ya, Ma?" pinta Angga memelas.
"Ocit itu belajar keras beberapa minggu ini, ingin bisa pergi. Masa Mama tega. Lagipula, ini kesempatan baik untuk masa de...."
"Ocit juga punya masa depan di sini," potong Angga cepat.
Mama menghela napas. "Beda, Ga. Soal kekhawatiran kamu tentang Ocit, Mama yakin Ocit bisa menjaga diri. Lagipula, di sana Ocit punya orangtua angkat," jelas Mama panjang.
Angga tambah cemberut.
Mama tersenyum. "Kamu nggak mau ditinggal Ocit, ya?"
Angga diam.
"Kamu ini," kata Mama geli. "Kalau Ocit ada terus digangguin. Tapi dengar Ocit mau pergi, kamu malah nggak setuju."
"Pokoknya Ocit nggak boleh pergi!" kata Angga keras kepala, lalu masuk ke kamarnya dengan wajah tertekuk.
BAB VII:
JANGAN PERGI, OCIT!

Sekarang Angga berubah. Setiap pulang sekolah, dia tidak lagi ngeloyor pergi atau mendekam di kamarnya. Yang dicarinya pertama-tama adalah Ocit.
Dan ia selalu bertanya, "Cit, mau Angga masakin apa?"
Walaupun Mama sudah selesai masak.
Atau, "Cit, mau nonton nggak? Di TO Plaza Senayan ada film bagus, lho?"
Dan alhasil, Ocit akan menolak dengan rupa heran. Kok Si Angga jadi baik? Baiiiik banget! Malah, cowok kurus itu tidak pernah lagi meledeknya. Dan tiap kali Ocit mau pergi latihan, Angga nawarin buat ngantar. Padahal dulu angga selalu ngomong:
"Ah, gengsi! Entar dikira pacar kamu lagi! Bikin pasaran sepi saja!"
Ocit mengunci kopernya dengan wajah masih cemberut. Si Angga keterlaluan banget, sudah tahu Ocit berangkat hari ini, eh anak itu malah menghilang sejak pagi.
Di Bandara Soekarno-Hatta, Ocit mencium pipi Mama dan Papa dengan mata berkaca-kaca.
Mama memeluknya. "Baik-baik ya, di sana," pesannya.
Ocit menangis. Sedih bukan hanya karena akan pergi, tapi gara-gara Si Angga tidak ada saat keberangkatannya.
"Angga sebel sama Ocit, ya?" tanyanya pada Mama.
Mama tersenyum. "Nggak, kok! Angga sayang sama kamu. Cuma, dia nggak setuju kamu pergi," hibur Mama, mengelus rambut Ocit.
Tiba-tiba Papa menunjuk ke depan. Tampak seorang cowok kurus duduk sendirian di kursi tunggu Keberangkatan Luar Negeri, membelakangi mereka.
Senyum Ocit mengembang. "Itu kan, Angga!" Ia berlari ke sana. "Angga," panggil Ocit.
Angga mendongak kaget. "Eh...," ia tampak salah tingkah.
"Kamu nungguin Ocit, ya?" tanya Ocit, ikut duduk.
"Ah! Nggak!" sangkal Angga cepat. "Tadi kebetulan lewat sini, eh tiba-tiba mau singgah duduk-duduk," bohongnya konyol.
Ocit jadi terharu. Ia tahu Angga berbohong. Jarak rumah ke bandara hampir dua jam, masa sih kebetulan lewat?
"Kamu sudah mau pergi, ya?"
Ocit mengangguk. Hatinya ikut sedih melihat wajah murung itu.
Angga menunduk, memain-mainkan kunci motornya.
"Nanti Ocit suratin via email, ya?"
Angga mengangguk pelan. "Jangan lupa telepon, ya?" tambahnya. "Di sana jangan keluyuran. Jangan sembarangan bergaul, milih teman yang baik. Jangan pacaran sama bule. Jangan suka nangis lagi. Jangan terlambat makan, jangan...."
"Iya." Ocit mengangguk, memotong pesan Angga yang banyak.
"Tapi," Angga menatap Ocit khawatir, "kalau kamu disakitin orang, siapa yang ngebela kamu? Kalau nggak ada makanan, terus kamu lapar, siapa yang masakin? Kan, kamu nggak bisa masak. Kalau kamu sakit, siapa yang...?"
"Ocit pasti akan baik-baik saja," potong Ocit terharu. Ia menghambur, memeluk Angga erat. Tangisnya tumpah.
"Kalau kamu sedih di sana, pulang ya, Cit?"
Ocit mengangguk sambil menyeka airmatanya. Dilepaskannya pelukannya. Kemudian diciuminya pipi Angga. "Ocit sayang kamu," katanya.
Angga mengangguk. "Angga juga."
Mereka berpelukan lagi. 

TAMAT
By Yhoppy Apriliansyah Hidayat (25-10-2010, 01.25 am)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar